 |
Long march/demo karyawan Indosat -Bunderan HI Feb 13 |
Sebelum masuk ketopik "Paradigma Gelas Setengah Penuh dan Hakekat Sharing Frekuensi berkomunikasi, coba kita simak demo karyawan Indosat Enterprise Group untuk melihat betapa seriusnya masalah ini. Berapa banyak karyawan yg kehilangan penghasilannya jika Indosat dikenakan denda Rp 1.3 Triliun ?
Mengapa setelah beroperasi hampir satu dekade, belakangan ditenggarai adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp 1.3
Trilyun dalam perkara dipersidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) oleh tindak pidana korupsi kerjasama PT Indosat Tbk & PT Indosat Mega Media (IM2), oleh Tim Penyidik Pidana Khusus,
Kejaksaan Agung (Kejagung) memanfaatkan jaringan frekuensi 2,1 GHz/Generasi 3(3G) dan jadikan Ir
Indar Atmanto terdakwa ?
 |
Bersama Teman2 lama ketika di Kadin Telematika 2000-2004 |
Bahkan ditunjang oleh Laporan Hasil
Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN) oleh Deputi Kepala
Badan Pengawasan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi, dimana
kemudian pada sidang PTUN, LHPKKN ini menjadi objek gugatan dan Deputi
serta Tim BPKP pembuat laporan menjadi tergugat.
Sebagai
masyarakat Telematika mengamati adanya perbedaan pola-pikir (paradigma) atau cara
menginterpretasikan frekwensi secara teknologi atau secara hukum yang
tercantum dalam UU Telekomunikasi No 36 Tahun 1999 dan peraturan
pelaksananya (Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dll) ?
 |
ibu2 semangat, namun kata hati siapa tahu jika palu diketuk salah |
Bahkan
di pemerintahan pun terjadi perbedaan pendapat (divide) antara
legislatif (dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Mastel dengan Komisi I DPR RI) dan
yudikatif(diwakili oleh Kejagung berikut yang membuat laporan LHPKKN
BPKP yang ditenggarai berawal dari laporan pimpinan sebuah LSM KTI
dengan inisial DAK, yang sekarang menjalani hukuman).
Perbedaan
pendapat juga antara eksekutif (Kementrian Kominfo dan Badan
regulator BRTI dan MP3TI (Master Plan Percepatan Perluasan dan
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia) dibawah koordinasi Menko Ekuin.)
dengan yudikatif, bahkan antara komunitas dan masyarakat Telematika
Indonesia, yang mengkhawatirkan jika pola pikir dari KeJagung berupa tuntutan kriminalisasi terhadap pelaku Industri
Telematika dikabulkan oleh pengadilan akan ditenggarai dapat menyebabkan Kiamat Internet (Kata
Pengantar Ketua Umum Mastel pada RDPU dengan Komisi I DPR RI tanggal
22 Januari 2013)
Perbedaan dari sisi Paradigma dan Polapikir
Jadi
sebetulnya apa yang terjadi ? Mengapa terjadi divide atau kesenjangan
yang sangat lebar dan ekstreem antara para stakeholder dalam
membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini ? Dalam iklim demokrasi perbedaan harus disadari, dimengerti dan dimusyawarahkan ?
Agar
mudah melihatnya digunakan analogi sebuah Gelas yang diisi air
setengah penuh, kemudian diminta masing-masing stakeholder untuk
memberikan opini. Ada yang optimis dan melihat gelas berisi setengah
penuh, namun ada yang pesimis dan berpikir negatif bahwa gelas masih
setengah kosong ?
Pada masalah tuduhan penyalah gunaan sharing
frekwensi antara Indosat Tbk (holding) dan anak perusahaannya IM2
(Indosat Mega Media), dalam hal ini juga terjadi karena ada pihak
yang optimis seperti Masyarakat Telematika, Majelis Hakim PTUN bahkan
Menteri Kominfo membuat statement tertulis bahwa tidak ada yang salah
dalam hal memanfaatkan sharing, namun ada juga pihak yang pesimis dan
melihat adanya penyalahgunaan dalam sharing frekwensi ini oleh
Kejagung, BPKP dan LSM TKI misalnya.
Mengapa
terjadi divide dan kesenjangan seperti ini ?
Yang
berpikiran positif adalah regulator, akademisi, industri, Departemen
terkait (Kominfo), DPR dan Masyarakat Telematika yang ikut membidani
lahirnya UU 36/1999 dan turunannya, bahkan asosiasi (Mastel, Kadin,
APW, APJII dll), sehingga dapat mendalami roh dan perkembangan
teknologi dari dua dekade yang lalu hingga hari ini dalam mengelolah
ranah publik, sumber daya (frekuensi) yang terbatas ini dengan memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi yang berkembang sangat cepat untuk
sebesar besarnya bagi pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia (UUD 1945 pasal
33).
Sedangkan
pihak yang berpikiran negatif terhadap sharing frekwensi ini adalah
para pihak yang kemudian setelah UU 36/1999 berjalan lebih dari satu
dekade (14 tahun) melihat bahwa frekwensi adalah sumber daya alam
yang terbatas dan melihat ada peluang untuk meningkatkan pendapatan
negara non pajak, jika semua yang memanfaatkan frekwensi ini juga
diharuskan membayar up front fee serta ikut tender seleksi pita
frekuensi 2.1Ghz untuk jaringan bergerak (mobile) IMT-2000, yang
dahulu pernah diikuti oleh Indosat, XL, Telkomsel dll sebagai
pemenang dan sudah tentu telah membayar upfront fee/ BHP (sekitar Rp
1.3 Triliun, misalnya yang dibayar oleh Indosat).
Pikiran
negatif ini timbul akibat membaca UU 36/1999 tanpa melihat roh serta
latar belakang pada saat drafting UU 36/1999 pasal 33 penyelasan ayat
2: “Penggunaan frekwensi radio didasarkan pada ruang, jumlah
getaran dan lebar pita, yang hanya dapat digunakan oleh 1(satu)
pihak. Penggunaan secara bersamaan pada ruang, jumlah getaran, dan
lebar yang sama atau berhimpitan akan saling mengganggu.”
Jika
dibaca dengan paradigma gelas setengah kosong, untuk memaksimalkan
pemasukan keuangan negara saja, maka akan timbul interpretasi bahwa
semua yang memanfaatkan frekwensi seperti Indosat maupun IM2 harus
membayar upfront fee sekitar Rp 1.3 Triliun, semestinya ini juga
diikuti oleh semua ISP, pengguna ponsel yang juga memanfaatkan dan
melakukan sharing frekwensi, maka semuanya bersalah dan harus didenda
Rp 1.3 Triliun termasuk kita yang menggunakan ponsel 2/ 3G kita
sehari hari juga terkena tuduhan Tipikor ini ?
Jika paradigma gelas
setengah kosong ini harus diisi penuh, maka banyak penyelenggara
jastel yang bangkrut termasuk IM2 yang harus membayar Rp 1.3Trilyun,
padahal sudah dibayar oleh penyelenggara jaringan Indosat Tbk ?
Apakah
benar pola pikir seperti ini bahwa Gelas masih setengah kosong, harus
diisi penuh dan semua harus juga mengisi pundi pundi negara sebesar
Rp 1.3 Triliun ? Pasti harga akses Internet menggunakan frekuensi 3G
akan naik berlipat ganda ?
Polapikir
yang positif berawal dengan melihat bahwa Gelas sudah setengah penuh
dan industri bersama masyarakat dan pemerintah optimis terus
membangun untuk meningkatkan ekonomi melalui setoran pajak
pendapatan, USO, berarti juga meningkatkan pundi pundi negara dengan
semangat MP3TI, serta menerapkan UU 36 /1999 dan semua turunannya
dengan interpretasi dan tafsir sebagai berikut.
Memang
benar tender jaringan slot 2.1Ghz beserta frekwensinya dimenangkan
oleh Indosat Tbk (K.M No. 19/KEP/M.KOMINFO/02/2006 tentang Hasil
lelang ) hanya dapat digunakan oleh satu penyelenggara jaringan
telekomunikasi (JarTel) dengan membayar upfront fee Rp 1.3 Triliun
dan sudah memiliki ijin sebagai penyelenggara JarTel secara resmi (KM
Kominfo No 504/KEP/M.KOMINFO/08/2012 tentang ijin Penyelenggaraan
jaringan bergerak seluler PT Indosat Tbk) . Istilah Jaringan dan
istilah Telekomunikasi artinya pelakunya lebih dari satu memanfaatkan
satu penyelenggara Jartel (Indosat) dengan mitranya atau pelanggannya
dalam sebuah jaringan tertutup.
Dalam
kasus ini mitra kerjasama PT Indosat Tbk adalah PT Indosat Mega Media
(IM2) yang juga memiliki ijin sebagai penyelenggara Jasa
Telekomunikasi (JasTel) dengan Surat Kep.Dirjen PosTel ( no
229/dirjen/2006 tentang ijin Penyelenggaraan Jasa Akses Internet
(Internet Service Provider ) PT IM2 dan 230/dirjen/2006 ijin
Penyelengaraan Jasa Interkoneksi Internet (NAP) PT IM2 ).
Perjanjian
kerjasama kemitraan antara Indosat Tbk dan IM2 dituangkan dalam
perjanjian kerjasama yang diketahui oleh Menkominfo, oleh karena itu
Menkominfo menganggap kemitraan antara PT Indosat Tbk dan IM2 adalah
sah berdasarkan UU No 36 Tahun 1999 ( Surat Menkominfo No
65/M.Kominfo/ 02/2012 24 Feb 2012 yg ditujukan kepada Direktur Utama
Indosat Tbk dan Surat Menkominfo No
T-684/M.Kominfo/KU.04.01/11/2012 tertanggal 13 Nopember 2012
ditujukan pada Jaksa Agung ).
Surat
Menkominfo tentang sahnya kerjasama antara PT IM2 dengan PT Indosat,
yang merupakan bentuk kerjasama antara Penyelenggara Jasa
Telekomunikasi (IM2) dengan Penyelenggara Jaringan Telekom (dalam
kasus ini adalah pt indosat), sudah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yaitu pasal 9 ayat 2 UU No 36 1999 (Perjanjian
Kerjasama antara Jartel dan JasTel), Pasal 13 Peraturan Pemerintah
Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Ijin
JarTel Indosat Tbk) dan Pasal 5 Keputusan Menteri Perhubungan No KM
21/2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi (Jastel).
Telekomunikasi artinya berkomunikasi jarak jauh (Tele) untuk
menyampaikan pesan, suara, signal, dengan medianya frekwensi melalui
jaringan yang dimiliki oleh PT Indosat Tbk.
Berkomunikasi
pada hakekatnya dilakukan oleh dua pihak atau lebih.
Ada peribahasa
“It takes two to tanggo” artinya dalam melakukan kegiatan
seperti berkomunikasi ataupun berdansa adalah antara dua pihak dalam
hal ini antara Penyelenggara Jartel yang telah memenangkan tender dan
memiliki ijin tentu untuk menyelenggarakan komunikasi dengan
mitranya, dalam hal ini PT IM2 yang memiliki ijin Jastel. Agar sebuah
komunikasi dapat terlaksana menggunakan teknologi dalam bentuk
peralatan jaringan (Tower BTS) harus menggunakan frekwensi tertentu
yang sudah mendapatkan ijin dalam hal ini sudah dimenangkan oleh
Indosat Tbk kemudian radio frekwensi 2,1 Ghz / Generasi ketiga (3G)
dikenal IMT-2000 dipancarkan untuk berkomunikasi dengan mitranya
dalam hal ini PT IM2 adalah mitranya.
Secara bersamaan Indosat dapat
juga berkomunikasi secara bersamaan dengan ribuan pemilik mobile
handphone (ponsel) yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dan
didunia selama lebih dari satu dekade sejak teknologi seluler ini
diperkenalkan dan semestinya sharing frekwensi seperti ini adalah hal
yang sudah biasa dilakukan oleh manusia.
Hampir
semua komunikasi pasti menggunakan frekwensi, dari kita berbicara,
berteriak, telinga kita mendengar, Radio, TV, VSAT, POTS (Telpun
rumah jaringan tetap tembaga 3KHz, fiber 2TeraHertz, cable laut),
Ponsel (sekitar 2Ghz) dengan berbagai media dan telah dilakukan
berabad abad sharing frekwensi ini. Frequency Spectrum (Rainbow) ini
sudah diperkenalkan oleh James K Maxwell dan dikenal dengan teori
Maxwell 150 tahun yang lalu (Gilder George, 2000). Nenek moyang kita pun sudah mengerti teori berkomunikasi dengan membunyikan gentongan, bel antara yang memukul gong dengan yang masyarakat atau pihak yang mendengarkan informasi dengan frekwensi yang dapat didengar oleh telinga kita. Jadi hakekat berkomunikasi pasti dua atau lebih arah, kecuali seperti introspeksi (komunikasi dengan diri sendiri atau dengan Tuhan, frekwensinya belum terpecahkan oleh manusia).
Pada
ponsel kita pun jika menggunakan SIMMS (kartu ID yg ada di ponsel)
dan terhubung dengan jaringan milik Penyelenggara jaringan akan
muncul identifikasi jaringan milik, misalnya Indosat Matrix 3G dengan
frekwensi 2.1Ghz artinya meskipun kita melakukan sharing frekwensi
yang sama dalam berkomunikasi, maka frekwensi itu tetap punya
identifikasi yaitu pemilik jaringan dan pemenang tender frekwensi
Indosat Tbk dalam hal ini.
Ada pameo 'anda bicara dengan frekwensi berbeda sih' artinya kalau frekwensinya berbeda yah tidak terdengar, alias berkomunikasi harus dengan frekwensi yang sama antara dua atau para pihak, dan untuk beberapa frekwensi yang (scarce - terbatas) sudah ada frekwensi yang diatur dalam tata kelola frekwensi spektrum misalnya 2.1Ghz untuk teknologi IMT-2000.
Hukum pun produk akademis. Dalam teori research quantitative biasanya objek research tidak dipengaruhi oleh paradigma dari si pembuat (creator) misalnya Gravity Force, sedangkan teori research qualitative di social science dan hukum, maka paradigma creator juga berpengaruh besar. Sehingga tidak heran jika hukum pun menjadi produk interpretasi seperti analogi Gelas Setengah Penuh atau Gelas Setengah kosong ? (Teori kritis, teori konstruktif dll).Bahkan studi post modernisme (dekonstruksi) menyadari betul persaingan antar kekuasaan (power) dan Ilmu (knowlege) dalam hal ini antara penegak hukum dan peraturan perundangan (Burchill LinkLater 1996).
Disini
terlihat bahwa Tim Kejaksaan Agung dan Tim BPKP kurang memahami
Peraturan dan Perundang-undangan RI tentang Telekomunikasi serta
teknologi yang berkembang berabad abad memanfaatkan frekuensi.
Mengapa ?
Karena melihat Gelas yang setengah Kosong dan berpikiran
bahwa telah terjadi sharing frekuensi, sehingga kedua pemakai
frekuensi harus membayar BHP spektrum frekuensi dan mengikuti tender
spektrum frekuensi. Jika tidak, maka sangsinya denda sebesar
minimal up front fee yang sudah dibayar oleh Indosat Tbk sebesar Rp
1.3 Triliun (dalam kasus dakwaan terhadap IM2 ini).
BPKP mungkin juga
tidak melakukan audit pembukuan atau akutansi terhadap pembukuan IM2
yang hanya memiliki aset sekitar Rp 900 Milyar dan Pendapatan
pertahun hanya Rp 300 Milyar namun ditenggarai telah melakukan
pelanggaran karena belum membayar upfront fee sebagai mitra nya
Indosat Tbk meskipun sudah memiliki ijin jastel dan memilik PKS yang
sah menurut Menkominfo diatas. BPKP mungkin hanya mendasarkan angka
Rp 1.3 Triliun dari jumlah upfront fee yang dibayar oleh Indosat Tbk.
Laporan BPKP ( Surat No: SR-1024/D6/1/2012 9 November 2012 Perihal
Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Perhitungan Kerugian Keuangan Negara
Atas Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Penggunaan Jaringan
Frekwensi Radio 2,1Ghz/Generasi Tiga (3G) oleh PT Indosat Tbk dan PT
IM2 ) yang diterbitkan atas permintaan Direktur Penyidikan Tindak
Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI (Nomor B 234/Fd.1/01/2012 tanggal 31
Jan 2012).
Jika
pola pikir kejagung ini diterima, maka para penyelenggara Jastel
(ISP, NAP, Warnet) akan harus membayar upfront fee sebesar Rp
1.3Triliun pula dan akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan
kebangkrutan industri telekomunikasi di Indonesia dimasa yang akan
datang.
Semestinya BPKP juga membuat laporan tambahan, yaitu laporan dampak sampingan (side effect report) jika IM2 harus membayar denda Rp 1.3 Triliun dan apakah betul bisa terjadi Kiamat Internet jika merembet pada sharing frekwensi yang dilakukan oleh ISP yang lain dengan Operator Telkom (Penyelenggara JarTel) ?
 |
Pengadilan PTUN membacakan putusan sela dewan hakim |
Kesimpulan
adalah kasus ini terjadi karena perbedaan paradigma analoginya
melihat gelas yang setengah penuh oleh industri, masyarakat kominfo,
pengadilan PTUN yang ingin membangun dan optimistis, namun dipihak
lain dilihat pesimistis sebagai setengah kosong oleh Kejagung dan tim
audit BPKP ?
Semoga
pada pengadilan berikutnya perbedaan paradigma, kesenjangan (divide)
ini dapat dipertemukan dan semua pihak dapat berpikir secara positif
demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi secara murah
meriah. Dalam demokrasi memang kita harus menghargai semua pandangan dan paradigma namun apakah dapat dicapai sebuah konsensus dewan hakim tipikor, musyawarah yang akhirnya menguntungkan bangsa dan negara (National Interest) ?
Itulah yang harus dipikirkan oleh bangsa ini kedepan ?
Rudi Rusdiah - Ketua
APWKomitel (Asosiasi Pengusaha Warnet) / Mastel (Masyarakat
Telematika).
 |
putusan sela hakim menolak eksepsi terdakwa meskipun setelah putusan PTUN |
Catatan:
Tambahan dari acara TVRI (13 Feb 2013 jam 9 pm) mengenai KPK dan vonnis Pengadilan Tipikor akhir akhir ini yg terkait dengan bahasan mengenai paradigma sbb:
Tadi pada acara dengan tema KPK dan vonis pengadilan Tipikor di TVRI dengan pembawa acara Roman
Prasetya, salah satu yang di interview bapak Suparman Marzuki dari Komisi Yudisial.
Beliau mengatakan bahwa memang banyak dari hakim di Tipikor tidak
profesional, hanya 50% yang mungkin adalah Hakim yang baik.
Definisi baik seorang hakim menurut beliau adalah bahwa seorang hakim harus
Speak for Justice, not Just Speak the Law.
 |
Sidang pengadilan tipikor kamis 14 feb 2013 jam 15:00 |
Saya pikir ada benarnya juga dan penjelasan beliau sbb:
Karena kalau
we speak for the law, maka kita akan berkutat dan bermain
dengan pasal pasal UU, UU Tipikor misalnya, lalu kemudian akan mudah timbul multi interpretasi
dan multi tafsir dari pasal2 UU untuk kepentingan yang tidak jelas, dan yang miris jika kepentingan golongan atau pribadi mengatas namakan misalnya Anti Korupsi atau Penyelematan keuangan negara misalnya.
Kalau si hakim berpikir dan
speak for Justice, maka yang dicari adalah
Keadilan (Justice), semestinya hanya ada satu keadilan dan kebenaran, sisanya yang
lain adalah pembenaran- pembenaran dengan memainkan pasal pasal dan UU. Seperti seorang
peramal kode buntut, maka digatuk gatuk khen sehingga seseorang yang
tidak salah bisa salah... dan repotnya yang salah jadi benar :-)
catatan: Ingat sebuah gelas dengan air bisa dilihat setengah penuh dan optimis membangun, namun bisa juga ditafsirkan setengah kosong, destruktif dan pesimis.
Untuk bisa menjadi hakim yang
Speak for Justice for all, menurut pak Suparman Marzuki, maka hakim tipikor kita harus :
1. Mempunyai knowledge / ilmu pengetahuan, jadi bila menyidik kasus
telekomunikasi, yah pakailah UU telekomunikasi dan turunannya termasuk Kepmen, Permen Kementerian teknisnya, masak memaksakan UU
tipikor dan bahkan Kementerian teknispun tidak didengarkan, misalnya.
Jika demikian, maka masalah teknis dan perdata, jadi masalah pidana dan extra ordinary crime dibawa ke pengadilan Tipikor ?
2. Paradigma / Pola pikir harus bisa punya pola pikir gelas setengah
penuh, optimis dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara, bukan
berpikir gelas setengah kosong. Ini berarti mengerti apa sih misi dan visi si perancang UU dan Peraturan untuk kebaikan bangsa serta berdasarkan National Interest (Kepentingan Nasional dan Masyarakat banyak serta jangka panjang, contohnya bukan sekedar mengisi pundi-pundi negara (jangka pendek) dan membuat susah industrinya (pada jangka panjang) ).
Semoga dewan hakim besok (Kamis Feb 14, 2013 jam 14:00) yang memimpin sidang mempunyai knowledge yang
benar mengenai telekomunikasi, frekwensi, UU Telekomunikasi dan
turunannya dan mengerti paradigma/ semangat apa sih dibelakang
pembentukan UU Telekomunikasi untuk membangun infrastruktur bagi masyarakat Indonesia yang adil, sejahtera dan berdaya saing ?
Jika tidak memang seperti apa yang dikatakan oleh pak Marzuki dari
Komisi Judicial, maka hasilnya tidak memberikan rasa adil / justice
namun hanya menerapkan penafsiran dari UU yang dikembangkan oleh jaksa
entah untuk kepentingan apa dan siapa ?
Semoga harapan ribuan karyawan yang demo pagi ini di Bunderan HI (13 Feb 2013) baik ibu, bapak serta
keluarganya dapat terpenuhi, yaitu batalkan kriminalisasi industri
telematika kita dan jangan membawa kiamat kepada industri telematika
kita. Kasihan bangsa ini.
Diskusi Istilah Sharing (frekuensi) apakah Kriminal atau Tipikor ?
Apakah istilah sharing (frekuensi) masuk kategori tipikor (tindak pidana korupsi) sih ?
Menurut Oxford Dictionary, arti sharing diartikan macam macam. Dapat diartikan
saham atau kerjasama atau kepemilikan bersama, atau bisa juga partisipasi atau artinya ikutan macam macam spt dibawah ini?
Cuplikan dari oxford:
Share means: 1. a part of large amount which is divided among or contributed by number
2. have or use jointly (berbagi)
3. participate( partisipasi) , take part (ikutan) , be involved , have a hand or shareholder (saham)
maka sharing bisa diartikan (ditafsirkan) banyak sekali, apalagi
jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, silahkan kemudian ditanyakan pada ahli tata bahasa,karena kami bukan ahli tata bahasa.
Namun khan sudah jelas, bahwa sharing ini menurut banyaknya
definisi/ interpretasi diatas, khusus untuk kasus Indosat-IM2 sudah diatur sejak lama dalam PKS (Perjanjian Kerjasama
antara para Pihak), dimana Pihak Pertama, Indosat sudah membayar upfront
fee dan mempunyai hak untuk memanfaatkan frekuensi tersebut bersama
pelanggannya atau mitranya dalam sebuah PKS dan ada Pihak Kedua yang
juga sudah memiliki ijin Penyelenggara Jasa Telkom... so dimana letak
salahnya :-)
Aneh jika ada pihak yang menyalahkan penggunaan
istilah ini ?
Tapi jadi tidak aneh, jika kita mengamati sebuah fenomena: "Gelas diisi air separuhnya"
Ini saja bisa di interpretasi dan ditafsir bermacam macam padahal gelasnya dan jumlah airnya sama.
Ada yang dengan paradigma pesimistic thinking melihat kok gelasnya masih
separuh kosong... sehingga konotasinya Negatif sekali terhadap apapun
istilahnya apakah sharing frekwensi atau pemanfaatan (utilize) frekwensi
dll... pokoknya kalau sudah berpikiran negatif apapun ditenggarai
salah... dan menuju proses kriminalisasi jika masalahnya adalah sharing
frekuensi... memprihatinkan.
Namun jika kita dengan paradigma optimis thinking melihat kok gelasnya
sudah separuh penuh, maka konotasinya menjadi positif thinking dan ingin
membangun serta memberi kontribusi pada masyarakat , dalam kasus ini
dengan sharing frekuensi sesuai dengan PKS yang ada dan sudah diketahui
oleh Menteri Kominfo dan para pihak sudah memiliki ijin penyelenggara
sesuai dengan kapasitasnya paakah sebagai penyelenggara jaringan
Telekomunikasi atau sebagai penyelenggara jasa Telekom.
Jadi memang kasus ini yang menjadi masalah besar adalah Pemahaman dan
paradigma (pola pikir) para penegak hukum dan masyarakat dan LSM
terhadap sharing atau utilize frequency for development (pembangunan).
Paradigma mengerti dan menafsirkan UU 36/ 1999 beserta turunannya serta
pemanfaatan perkembangan teknologi untuk pembangunan itu memang penting
terutama bagi para penegak hukum... ini jelas disebut oleh Komisi
Judisial (Bpk Marzuki acara KPK di TVRI minggu lalu) dan juga bahkan
oleh Jaksa Agung dan Prof Jusril dalam acara Jakarta Lawyer Club.
Jadi kesimpulannya adalah hanya masalah dasar paradigma/polapikir
interpretasi/ tafsir baik UU , teknologi serta aplikasinya di
Industrinya untuk pembangunan ? Namun sayangnya masalah sederhana dan
dasar ini akan menghabiskan banyak tenaga, pikiran dan materi... very
highcost dan menghambat pembangunan industri telekomunikasi kita
kedepan.
Akhirnya menggunakan istilah 'sharing' pun jadi tabu karena banyak pihak menggunakan paradigma gelas setengah kosong dan mengkriminalisasi, padahal membaca buku Telecosm (Gilder, 2000) maka sharing adalah hal yang positif dan menyebabkan frequency becomes abundance and not scarce anymore (berlawanan dengan pola pikir pesimis Zero Sums Game, Malthusian theory).
Catatan: Zero
sums game, Malthusian berpikiran pesimis terhadap pembangunan dan
resources seperti frekwensi, pangan sangat terbatas (scarcity).
Dalam buku Telecosm, Gilder (2000) berpikiran Positive Sums game , blue
ocean dengan teknologi sharing frequency sehingga bisa dipakai oleh
manusia banyak (mankind) dan menjadi SDA (sumber daya alam yang abundance ( berlimpah).
Hanya saja di Indonesia belakangan ini berproses di pengadilan tipikor, masalah memanfaat frekuensi bersama ini,
bisa di kriminalisasi karena pola pikirnya masih Negative Sum Game dan Red Ocean terhadap industri telekomunikasi di tanah air yg ingin
memanfaatkan frekuensi bagi masyarakat dan pembangunan.
Masihkah ada harapan berpikir dengan paradigma gelas setengah penuh, optimis ?
====
Komentar/Diskusi di milis dan Sekilas dari Ruang Sidang Tipikor dengan saksi ahli Ir Heroe STT Telkom April 4, 2013
---
kalau kita berkunjung ke Lemhannas atau lihat logo nya ada tulisan...
"Tanhana Dharma Mangrva" artinya "Tiada Kebenaran bermuka dua"
alias semua pembenaran... akhirnya juga kembali pada satu yang 'BENAR'.
jadi
diapakan saja... mau direkayasa seperti apa pun.. akhirnya kembali pada
kebenaran cuma satu ... atau... "Back to square one".
Kembali
ke kasus Indosat ini, semestinya memang yah IM2 atau siapa saja (U and Me) yah ngak
perlu bayar Upfront fee, frekwensi sharing khan diantara yg pakai
frekwensi 2.1Ghz itu untuk berkomunikasi ramai ramai didalam satu BTS (para pemakai,
frekwensi like u and me or pak Indar and many other users dibatasi oleh level of SLA yang dharapkan misalnya apakah 50 orang sekaligus berkomunikasi atau 75 orang sekaligus akan berpengaruh pada SLA nya
:-)
Tapi tetap saja, Jaringan, artinya Frekwensi yg dialokasikan Blok
nya, BTS, SIMMS card yah tetap milik penyelenggara Jaringan (punya ijin
Jartel)... mau dibuktikan kayak apa pun ... yah tetap saja semua ini
milik Penyelenggara jaringan dalam hal ini yang menang tender apakah itu
Indosat, Telkomsel atau XL...dan teknologinya dinamakan 3G (IMT2000
versi ITU nya)...kebetulan frekwensi di Indonesia ditetapkan 2.1Ghz
dalam dua blok utk masing pemenang tender ketika itu.
Jadi mau di
rekayasa kayak apapun... saksi ahli apapun asal yang waras dan
bersumpah demi kebenaran yah jawabannya akan 'Sami Mawon' :-)
kalau X Files bilang... "The truth is always there, somewhere..." :-)
Jadi
kalau sidang diteruskan... akan semakin konyol... karena yah pertanyaan
jadi semakin lucu... dan jawabannya semestinya yah itu itu saja... mau
di putar atau direkayasa kaya apapun pertanyaannya ...
yah
kebenaran tetap satu... dalam hal
ini...yah memang frekwensi, BTS, SIMMs card adalah jaringan yg dimiliki
oleh Penyelenggara jaringan, karena menang tender dan sudah bayar
upfront feenya serta commit memang menggelar peralatan jaringannya, ...
kalau u and me dan IM2 khan hanya pengguna saja ... pelanggan kalau mau
jual lagi yah harus punya ijin jasa... kalau warung namanya warnet
(tanpa ijin loh boleh :-)... kalau corporate namanya ijin penyelenggara
jastel (ISP) dst...
dan kalau individu yah tandatangan kontrak
langganan seperti infrastruktur lainnya telpun, listrik, air sami
mawon...kalau ISP yah pakai MOU... :-)
Gitu aja kok repot dan
bertele tele sampai berbulan bulan mencari cari pembenaran... dari
kebenaran yang memang cuma satu ha3x :-)
tgif... semoga semua
pihak bisa berpikir yg benar pak indar... dan selalu mencari yang
benar..dengan cara yang benar... bukan pembenaran pembenaran (cari
kankernya :-) .... utk kepentingan segolongan ha3x :-).....yg bikin
nanti prosesnya (sidangnya) jadi lucu dan kaya dagelan... gerrrrr......
:-)
kasus di LP Cebongan juga esensinya sama tuh ha3x...ngak perlu
sue sue... cepetan wae...ngolek sing bener :-) ups... :-) ...cape deh
:-)
salam, rr - apw/ mastel
Catatan: herannya... sekarang
banyak muncul tim audit, tim pemeriksa apakah itu bpk, bpkp dll...dengan
hiruk pikuk pemberantasan KKN... selalu paradigmanya: "Yg diperiksa
selalu salah... ini khan sudah paradigma "
praduga pengusaha bersalah" ha3x :-)
http://en.wikipedia.org/wiki/Presumption_of_innocence
semoga
ngak begitu lah aparat kita baik regulator, maupun penegak hukum di
kemudian hari... mari sama sama cari kebenaran... bukan pembenaran...
atau kesalahan pihak yang diperiksa.
tgif...
---
From: "Indar.atmanto@indosatm2.com"
Subject: Re: [mastel-anggota] Sidang Lanjutan Kasus Kriminalisasi Indosat dan IM2 tanggal 4 April 2013
Ngebayangin aja, kalau kita check-up, dan didepan kita ada dokter
spesialis yg menjelaskan pakai gambar hasil CT-scan, MRI, YUrontgen,
dsbnya...kita pasti terus menyimak sampai akhir...(sambil berupaya
memahami penjelasan dokter spesialis tsb..dan juga sambil
dag..dig..dug..)..
Kalau sisi "JPU" mengharapkan setelah memaparkan hasil "CT-scan" dokter menyimpulkan: "ada kanker ditubuh anda, spt yg diduga"..
Namun dokter ahli-nya, setelah memaparkan analisanya, menyimpulkan bahwa: "anda sehat2 aja koq"..
Jadi
moral of the storynya: "kalau check-up lengkap, bukan berarti punya
penyakit"..Jadi check-up..lah secara rutin..utk menjaga kesehatan..(Ini
pesan dokter keluarga saya...)...
<nyambung..apa nggak? pak RR>
---
Pak agus... yg salah... yang tanya ? ato ... yang jawab ? ...atau yang undang saksi nya ha3x :-) masih tandatanya kan ?
salam, rr - apw
---
JPU: Saudara Ahli, dari uji coba yang telah anda lakukan di lapangan, apa yg bisa anda simpulkan.
Ahli: Dalam memberikan layanan akses Internetnya, IM2 menggunakan jaringan 3G maupun 2G milik Indosat.
Audience: Huaha... ada yg
tertawa cekikikan.... rame @#$%$^%$^%&^%&Q#$^(E ! (riuh) :-)
HAKIM
KETUA: DOK... DOK... PARA PENGUNJUNG DIBELAKANG SANA YANG TIDAK BISA
DIAM DAN TERTAWA KERAS, HARAP KELUAR ATAU AKAN DIKELUARKAN DARI RUANG
SIDANG, MAJELIS HAKIM TIDAK DAPAT KONSENTRASI DAN JAKSA TIDAK DAPAT
BERTANYA, KALAU BAPAK DAN IBU YANG TERHORMAT DAN TENTU TERPELAJAR /
INTELEKTUAL SEMUA !!!!
MOHON PERINGATAN INI YANG
TERAKHIR !!!!!!!
AUDIENCE:....... diam....
HAKIM KETUA: Apakah dari saudara terdakwa setuju dengan semua yang dijelaskan oleh AHLI
BPK
INDAR: Saya ingin konfirmasi kesimpulan dari SAKSI AHLI. Apakah yang
dimaksud oleh Saksi Ahli bahwa Jaringan yang digunakan oleh IM2 pada
saat melakukan uji coba jaringannya milik siapa ? Apakah milik INDOSAT ?
SAKSI AHLI: Betul ... jaringan milik INDOSAT.
Audience: .... diam.....
HAKIM: Sidang kami tutup... dan akan dilanjutkan Kamis depan...... dok dok....
itu
yang kira kira kami dengar ketika menghadiri sidang TIPIKOR IM2 tadi
setelah molor 1 jam dari schedulue dan sidang dipindah dari lantai 2 ke
lantai 1...
sebelumnya
tidak ditulis... karena agak boring .... seperti kuliah umum menjelang
ujian kelas Jaringan, Antena propagation dan Frekwensi saja ha3x... :-)